Decitan
burung telah berbunyi. Asap dari tungku belakang rumah sudah menggebu-gebu. Jam
pun telah menunjukan pukul 6 pagi. Hari ini adalah hari yang terberat untuk
Amel. Ia harus kembali ke dunia nyata untuk melakukan segala aktivitasnya.
Seperti biasa, ia harus membantu membantu aktivitas membersihkan rumahnya tiap
pagi. Secangkir kopi hangat untuk hidangan ayahnya pun tak luput ia sajikan.
Ibunya sedang meracik masakan di tungku belakang rumah. Rupanya ibu sedang
berpuasa sunah. Ia tidak ikut berpuasa karena ibu tahu, ia tidur terlarut
malam. Kondisinya tidak terlalu fit untuk melakukannya.
Entah mengapa beberapa
hari ini ia merasa kondisinya sangat buruk. Ia
takut untuk bersosialisasi kembali. Sudah beberapa hari ini ia rehat sejenak.
Bukan karena disengaja, melainkan karena memang jadwal yang kosong ia sempatkan
untuk berdiam diri di rumah. Ia bahagia bisa di rumah melihat keluarganya
berkumpul semua. Ada ayah yang selalu memberikan humor disetiap
perbincangannya. Ada ibu yang selalu bercerita tentang kejadian belanja sayur,
dan sebagainya. Ada adiknya yang selalu bikin ibunya naik darah karena setiap
belajar dengan omnya tidak pernah serius. Hal inilah yang ia rindukan setelah
ia jarang ada waktu dan setiap ada waktu luang ia habiskan bertemu teman yang
lamanya.
"Bu,
aku takut bu. Bagaimana aku harus menghadapinya?", batin Amel menggerutu.
Ia sudah tidak kuat untuk melangkahkan kaki keluar rumah. Ia takut, ingin
menceritakan pada ibunya apa yang sedang ia rasakan. Tapi, ia tidak tega
menambah beban pikiran ibunya. Sejauh ia melangkah, rumah adalah tempat ia
kembali untuk berpijak. Sebaik-baiknya ia menemukan teman, keluargalah yang
jauh lebih baik.
Terlihat
ibu sedang sibuk memindai panci dengan kedua lap di tangannya. Ia hanya mampu
menatap di jendela kamarrnya. Ingin menangis rasanya, namun ia sadar, ia takkan
mampu melukai hati ibunya. "Ayaah.. Aku ingin berada di sampingmu. Aku
merasa aman bila bersamamu", jeritan hati Amel semakin tidak kuasa saat ia
membukakan pintu pagar untuk ayahnya yang pergi bekerja.
Amel
pun bergegas untuk berangkat menjalani aktivitasnya. Apapun yang terjadi hari
ini, nanti, atau sekarang, ia harus menghadapinya. Padahal ia punya banyak teman.
Tapi, ia selalu merasa sendiri. Ia berpikir, teman-teman yang berada padanya
itu hanya semu. Mereka ada karena ada perlu. Ya, perlu dan membutuhkan sesuatu.
Terkadang Amel juga melakukan hal seperti itu. Karena ia merasa, sendiri jauh
lebih baik. "Lihatlah, mereka semua memakai topeng. Mereka semua aktor dan
aktris yang hebat bukan? Mereka jago
sekali memerankan peran seperti itu", Amel mengeluh ketika melihat
sekumpulan teman-temannya.
Tak
peduli lingkungan sekitar harus membicarakannya. Yang terpenting ia harus
menutup telinga dari mereka semua. "Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku
bisa gila!", hatinya terus bergejolak bagaikan terhasut oleh bisikan
setan. Melihat tingkah mereka semaunya. Melakukan apapun bila ia tidak
mengikutinya Tapi ia harus tahan dengan semua ini untuk sesaat. Ya, sesaat
bukan selamanya. Selamanya..
Komentar
Posting Komentar