Langsung ke konten utama

Amel (Aku Kangen Kita Yang Dulu)



            Matahari tenggelam, sinar bulan pun mulai datang. Suara adzan telah datang menyambut bergantinya waktu. Detak jarum jam dinding terus berputar. Amel baru saja pulang liputan. Ia mencoba merebahkan tubuhnya di kasur miliknya. Handphone di dalam tasnya pun coba ia raih dengan sisa tenanganya. Lelah baginya menjalani aktivitas seperti ini. "Triingg..", suara pesan masuk dari whatsapp miliknya. Ia pun membuka isi pesan itu sambil membatin, "Ah palingan tugas kelompok lagi nih. Revisi mulu". Ternyata dugaannnya salah, ada pesan dari Kamzyah.

            "Jadi nggak belajarnya?", tanya Kamzyah. Amel pun cepat membalas, "Jadi, mau dimana? Aku mandi dulu yah. Baru pulang liputan nih".

            "Kamu maunya dimana? Aku sih ikut aja", balas Kamzyah.

            "Di rumah Sinta aja ya. Kamu masih di sana kan?", ujar Amel. "Oke..", Kamzyah membalas.

            Sebelum berangkat menemui Kamzyah, ia pun mandi, sholat dan makan terlebih dahulu. Ia sadar, malu rasanya bila menghubungi Kamzyah saat ada tugas seperti ini. Tapi karena udah tidak satu kelompok lagi inilah yang membuatnya jarang berbicara bersama.

            Ia pun mengambil helm dan mengemudikan sepeda motornya ke rumah Sinta. 15 menit kemudian ia tiba disana. Terlihat Kamzyah sedang menunggu di teras rumah Sinta. Tapi tidak ada tanda-tanda seorang pun si pemilik rumah berada di sana.

            "Hei, maaf lama ya nunggu aku", Amel mencoba membuka percakapan.
             Kamzyah yang sedang terpaku pada gadgetnya langsung tersadar. "Eh, tidak. Baru saja aku sampai".
            Kamzyah membaca gerak gerik Amel yang dari awal datang menoleh isi rumah. "Apa yang kamu cari? Sinta lagi pergi ke lokasi untuk tugas dokumenternya", ujar Kamzyah.
            "Lalu, si ibu kemana?", tanya Amel lagi. "Ibu lagi ke warung", timpal Kamzyah.
            Amel pun mengambil laptop dalam tasnya. Ia membuka file tugas yang akan ia tanyakan pada Kamzyah.
            "Aku udah buat ulang tugas ini, tapi masih di revisi lagi sama dosennya. Katanya kurang besar, kurang megah desain gambarnya. Aku bingung mau menambahkan ornamen apa lagi. Menurut kamu bagaimana?", ia mulai menanyakan tugasnya.
            Kamzyah menjawab, "Hm.. Memang benar, ini desainnya terlalu sepi, kurang besar juga. Coba...". Belum selesai bicara, Kamzyah melihat wajah Amel yang sudah mengantuk. 
            "Tugasnya aku bawa pulang aja ya, aku rapihkan di rumah aja", Kamzyah melanjutkan percakapannya.
            "Lho kok dibawa pulang, aku kan minta diajarin", sahut Amel.
            "Hahaha mana mungkin aku ngajarin kamu kalo kondisi kamu aja sudah lelah seperti ini", Kamzyah mentertawakan ekspresi Amel.
            Amel pun menggarukan kedua matanya dengan tangannya. Ia malu ternyata Kamzyah bisa membaca kondisinya.
            "Hehe iyaa tadi aku aja sempat salah jalan. Karena sambil tertidur di atas motor tadi", Amel mencoba menjelaskannya.
            Kamzyah ini memang teman yang baik. Mereka berteman dari awal kuliah. Namun, saat memasuki semester kedua, Amel pisah kelompok dengannya. Sudah cukup lama ia tidak bercerita pada Kamzyah. Ia ingin bercerita apa yang ia alami dengan kelompoknya. Tapi ia bingung harus memulai dari mana.
            Sepertinya Kamzyah mengerti ada sesuatu yang ingin Amel bicarakan, "Kalo ada masalah, atau butuh sesuatu bilang saja. Tak usah sungkan. Kita sudah kenal cukup lama bukan?".
            "Aku hanya lelah sama kelompok ku. Aku tidak yakin dengan tugas film yang ini. Namun aku sadar, aku yang telah memilih bersama mereka", Amel mencoba menjelaskan apa yang ia rasakan.
            "Ini keputusan kamu yang pilih, kamu harus jalani. Ketika ditengah jalan ada permasalahan, coba kamu kumpulkan mereka semua, saling berbicara satu sama lain biar permasalahannya cepat selesai", Kamzyah mencoba menenangkannya.
            "Tapi, aku juga gatau harus mencari alat produksi kemana. Biasanya dulu yang mengurus alat itu, si Andini. Aku tidak pernah memegang jobdesk ini", Amel melanjutkan ucapannya.
            "Kalau persoalnya itu, kamu kan bisa bilang aku. Nanti aku bantuin. Kalaupun kamu butuh orang, aku siap. Kamu hubungi aku saja", ujar Kamzyah.
            Entah mengapa malam itu terasa sangat berbeda. Kamzyah yang ia kenal orangnya penuh humor. Tapi, kali ini Kamzyah natural sekali, sifat aslinya pun terlihat jelas. Amel selalu merasa nyaman berada di sisi Kamzyah.
            "Zyah, aku kangen kita yang dulu. Kamu tau?", bisik rindu pada hati Amel.
            Setelah bercerita satu sama lain, jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Amel pun berpamitan untuk pulang, "Aku pulang dulu ya sudah malam ini".
            "Yasudah hati-hati, jangan tidur di motor lagi ya", jawab Kamzyah.
            "Iyaa hehe..", tutup Amel.
            Ketika diperjalanan menuju pulang ke rumahnya. Amel flashback masa-masa dulu ketika ia sama Kamzyah. Dulu mereka terlihat sangat akrab. Kompak satu sama lain untuk mengerjakan tugas. Hampir setiap waktu selalu bersama. Tapi kini ia bersedih. Itu hanyalah sebuah kenangan yang tidak akan datang kembali.
            "Zyah, kenapa kamu malam ini lembut sekali disaat sendiri tanpa ada teman-temanmu?", tanya Amel pada hatinya.
            Apakah semua lelaki bisa menjadi dirinya sendiri saat tidak bersama teman-temannya? Ataukah lelaki bersifat baik kepada wanita hanya untuk sesaat? Apakah Amel yang salah menanggapi semua perasaan ini?. Entahlah..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STORY TELLING-MU

Waktu tak pernah lelah Menyaksikan perubahan kita Kau semakin kuat pada prinsipmu Aku yang terus mencoba menjaga diri Agar kelak kita bertemu dengan keadaan yang tepat Tatapanmu yang sendu Garis wajah mu yang menukik Pola pikirmu yang kian panjang Pertanda kau kian dewasa Mendewasakan diri dan orang Orang yang kan kau ajak dalam proses hidupmu Menjadi bagian dan arti dalam setiap prosesmu hingga nanti Kata orang, yang diajak untuk bercerita tentang masa depan Belum tentu kan bersama dan menyatu Tapi ku suka, menjadi bagian story telling mu Ku suka akan setiap pemikiranmu Mungkin, sekarang kita hanya menjadi teman bercerita Teman berproses tanpa arah yang pasti Kelak nanti, kita sama-sama tidak mengetahui Dengan siapa aku dan dirimu bersanding Jika pada akhirnya kita tak bersama sesuai Di  Lauhul Mahfudz Apa bisa kita saling bercerita Mengenai analogmu Dan proyeksi rasaku?

HUSNUL KHOTIMAH YA

Gue selalu takut ketika bahagia. Bukan rasa syukur yang pertama kali gue ucap. Tapi ketakutan setelahnya apa yang sedang menunggu gue diujung sana? Beberapa waktu terakhir gue memang merasakan bahagia. Entah itu semu atau sesaat. Walaupun setelah itu, tubuh gue merasa lelah. Tapi gue bahagia. Sekarang, rasa sedih itu memuncak. Gak tau hal pasti apa yang gue sedihkan. Apakah karena komunikasi gue dengan keluarga semakin a lot? Atau gue merasakan kehilangan teman dekat gue? Sehingga posisi itu kosong? Setelah gue mendengarkan coveran dari Wonwoo dari lagunya IU. Barulah gue bisa menitikan air mata meski gak banyak. Setidaknya, ada emosi yang meluap dari tubuh ini. Baru gue sadari, gue kangen sama Almarhum. Terlalu banyak hal yang ingin gue tanyakan. Bahkan hal-hal yang belum sempat gue tanyakan. Gue pun sering lupa menanyakan kabarnya. Malah Almarhum yang sering menanyakan kabar gue. Dan sekarang gue merasa kosong. Merasakan kehilangan separuh jiwa, panutan gue. Amanahnya sering

HALO! REMINDER TO MY SELF :)

Halo, apa kabar diriku di sana? Aku harap, kamu tetap baik-baik saja ya. Mampu bertahan, serta berbuat baik tanpa merasa disakiti oleh siapapun. Ah ya, sekarang sudah memasuki bulan Agustus 2022. Masa di mana akan ada ujian lagi yang akan menghampiri aku di bulan depan. Kalau kamu bertanya apa yang berubah dalam hidupku di masa ini, mungkin ada beberapa yang bisa ku sampaikan. Pertama, di tahun ini aku banyak dapat keponakan lucu-lucu. Teman-teman ku banyak yang melahirkan di tahun ini. Kedua, teman seangkringan dan juga om ku yang akan melepaskan status single-nya. Selamat ya guys! Asli, turut berbahagia 🥺 Aku? Hm.. Mungkin kalau sesuai planning seharusnya aku sudah menjemput kebahagiaan. Entah mengapa, rasa ketakutan akan menjalin dan membina hubungan itu semakin besar. Bisa jadi karena faktor lingkungan yang membuatku belajar semakin banyak. “Kalau nanti, begini gimana?” “Kalau nanti dijahatin, gimana?” “Kalau ternyata ekspetasi dia sangat tinggi terh